Kamis, 25 Januari 2018

KILAU SENJA


Irma Safitriani


kilau senja dari ufuk barat membawa sinar merah 
jatuh diatas bentang biru yang mulai meredup
aku terbaring berhambur di pasir meraung kesakitan
memutar-mutar tubuh yang hilang kendala
rebah, jatuh, remuk, melepuh, semua mengiris kejam tak berperasaaan

Nyiur dari sana kulihat enggan bergerak
menutup rapat jijik akan perasaanku yang terlambat
hujan yang turun seolah menyambut sedih 
aku yang tak sadar diri seakan lupa bagaimana bayang itu memohon 
air mata tak ada lagi arti semua telah hilang dalam suasana yang ku buat 
lambaian itu tak ingin kembali lagi yang terbit hanyalah kesendirian dan kesepian

Bagaimana jantung akan berdegup sementara darah telah memutih
muka seolah berubah bentuk tak lagi bernyawa 
aku telah kehilangan senyum yang tak dapat ku lihat lagi 
angin telah membawa jauh ia ke dalam sangkar emas yang tak bisa ku raba
di setiap aku ingin kembali ada batas yang selalu menghadang

Aku tersandung di hati yang salah dan kini aku tak dapat bangun lagi,
aku seakan berada dalam tawa mereka yang remeh
untuk apa hanya menangis menyaksikan kesenangan mereka sementara diri yang jadi ledekan 
aku malu, malu dan sangat malu

bisakah aku kembali untuk tak mengingat?
 burung bersayap kecil itu pun merasa iba melihatku 
aku tau itu, dan dalam hati aku menjerit rakus menggema
memekik ingin dibawa pergi jauh dari kenyataan ini. 

Harapan Bangsa ku

IRMA SAFITRIANI

Anak-anak kecil bersungging senyum ringan
Berlari bersama, berburu mencari harapan dalam tong-tong sampah jalanan
Terkadang pada gunungan-gunungan sampah kota yang hina, dan di balik kaca-kaca mewah sang pejabat kota

Mereka bersemangat seolah tak ada gumpalan kabut hitam di fikirnya
Tetap bersyukur dalam makna kehidupan yang susah
Bagi mereka hari tetap akan berjalan walau sebutir pengenyang pun tak dapat mereka rasai
Waktu kan tetap berganti walau mereka tak dapat tertidur pulas

Anak-anak kecil bersungging senyum ringan
Bila malam mereka berjalan di lorong-lorong gelap nan senyap
Mencari tempat dimana mereka akan membaringkan tubuhnya yang mungil
Dalam malam yang hitam kelam mereka terbaring pulas dengan wajah polos

Anak-anak kecil bersungging senyum ringan
Jauh dalam tidur pulas nya terbit cahaya harapan
Mimpi yang besar untuk tanah air yang pendiam dan mulai lesu
Ingin menjadi seseorang yang bermakna dalam kehidupan
Membangun negeri dengan fikirnya yang tinggi
Dan dapat tersenyum puas dengan karyanya sendiri

Anak-anak kecil besungging senyum ringan
Mereka adalah harapan kampung-kampung kecil di sudut kota
Merekalah senandung lagu mega fajar nan indah
Merekalah senyuman dan lambaian nyiur hijau kelapa
Dan merekalah pembangkit hidup dalam harumnya rumput-rumput penyubur tanah




Rabu, 24 Januari 2018

Doa Anak Negeri

Goresan sajak oleh: Irma Safitriani

Terik haus meraung perih
Gerak tubuh merangkak hilang tujuan
Genggam pasir yang luruh terbawa angin
Irisan hati penuh darah dan nanah

Gersang, menyesal tak berujung
Harap maaf  tak mudah berucap
Suasana diri hanyut dalam rebusan api
Membakar hitam tak tampak lagi
perih tak mungkin sembuh
Negeri mengambang tak dapat menyentuh

Ingin jari ini meraih senyum
Bagi negeri yang haus abdi
Membawa tawa untuk anak negeri
Menyucikan kembali negeri yang penuh dengan noda

Sedih
Diri hanya tertunduk malu
Hanya menutup tangan pada raja perkasa negeri
Beri kami segelas keadilan
Memohon peluk rangkul tanpa air mata

Malu...
Pada adilnya itik-itik penghuni sungai
Menggiring anak tanpa percuma
Ingin rasa berungkap lantang
pada penguasa yang berjalan hilang kendali

Do’a
Selalu kami himpunkan
Untuk negeri yang mulai hilang pelindung
Berharap penuh negeri tak lagi meraung kesakitan
Hanya ada tawa kami yang berdiri jaya
Menari tenang bersama daun-daun kecil kami

Negeri
tak perlu harus menangis
Rajaku adil menjadi harap kami
Beri kami angin pelangi
Lukiskan negeri kami langit-langit penuh warna
Agar kami tak lagi menangis bersama embun-embun pagi pembawa duka


Aku Berhati


Goresan sajak oleh: Irma Safitriani


Aku berkisah tentang wangi yang ku dengar
Ia juga ku jumpai pada sebidang hati yang berwarna
Bagaimana bisa?
Bukan diri yang tak normal melainkan ini tentang perasaan
Sehikayat itu telah mengakar dan menyentuh langit dalam pandanganku
Dan diriku berbinar mata mengakuinya

Jari-jari ku lesu dan mengembun
Hingga ku genggam ia dan memejam kedua mataku
Benarkah aku di akui adanya?
Tertuliskah kisah ini pada kanvas keinginan ku?
Atau tak mengapa bila hanya pada sebilah batu yang jauh dari sepengetahuan manusia
Asal aku tau aku wujud
Bukan bayangan yang hanya mengikuti jika cahaya ada
Aku ingin hadir dalam arah apapun itu
Karena aku berperasaan bukan mati dan mematung